Kini aku meletakkan kamu di batas antara cinta dan benciku. Tipis, setipis mereka bilang. Tipis, semungil tubuhmu, R.
Aku mencintaimu dengan tidak kuanalogikan. Bukan seperti puisi chairil, gibran, dan maestro-maestro iblis sastra itu. Aku pernah mencintaimu apa adanya. Tidak harus kuanalogikan, dan memang tak bisa kuanalogikan seandainya pun kamu memintanya. Tapi kamu pun tak pernah memintanya. Dan kita tak pernah membahasnya. Cukuplah kita saling tahu, bahwa kita saling mencinta.
Dan lalu aku membencimu. Untuk keputusanmu mengakhiri kita. Untuk keputusanmu menghentikan komunikasi kita. Untuk keputusasaanmu mengerti aku. Dan untuk sejuta alasan lain kalau kamu memintanya. Tapi kamu pun tak pernah memintanya. Kamu hanya mengakhirinya, dan membuatku semakin mengumpulkan jutaan alasan lainnya untuk membencimu.
Untuk menghapus nomormu dari daftar nomor teleponku. Untuk menghapus lagu-lagu kesukaanmu dari daftar lagu yang kuputar tiap harinya. Untuk melupakan kalimat-kalimat kesukaanmu. Tapi nomormu terus kuingat meski tak pernah kuingat-ingat. Lagu-lagumu tak pernah bisa kuhapus dari playlistku, karena lagu-lagu itu juga lagu kesukaanku. Dan kalimat-kalimatmu itu terus menggema di telingaku. Dan itu semakin membuatku membencimu, R.
Waktu selalu memberikan kedinamisan. Dari sangat mencinta, sangat membenci, di antara keduanya dan menjadi batas antara benci dan cinta itu sendiri, dan mungkin suatu saat nanti menjadi tidak peduli sama sekali. Hilang dari diagram kartesius perasaanku. Mungkin hari ini, mungkin besok, atau bisa saja berbulan-bulan lagi lamanya. Ketika di tempat itu, tempat batas antara benci dan cintaku itu diisi oleh orang lain. Seorang, dua orang, tiga orang, atau beberapa orang mungkin nantinya, dengan alur dan plot yang sama berulang kali sampai nanti kutemukan orang yang tepat. Atau, mungkin orang yang tepat itu juga akan kembali padamu. Aku tak pernah tahu. Biarlah waktu yang nanti memberi hasilnya.
Aku tidak akan berusaha mencintaimu lagi, membencimu lebih dalam, atau melupakanmu. Biar saja semua berlalu sealami mungkin.
Aku mencintaimu dengan tidak kuanalogikan. Bukan seperti puisi chairil, gibran, dan maestro-maestro iblis sastra itu. Aku pernah mencintaimu apa adanya. Tidak harus kuanalogikan, dan memang tak bisa kuanalogikan seandainya pun kamu memintanya. Tapi kamu pun tak pernah memintanya. Dan kita tak pernah membahasnya. Cukuplah kita saling tahu, bahwa kita saling mencinta.
Dan lalu aku membencimu. Untuk keputusanmu mengakhiri kita. Untuk keputusanmu menghentikan komunikasi kita. Untuk keputusasaanmu mengerti aku. Dan untuk sejuta alasan lain kalau kamu memintanya. Tapi kamu pun tak pernah memintanya. Kamu hanya mengakhirinya, dan membuatku semakin mengumpulkan jutaan alasan lainnya untuk membencimu.
Untuk menghapus nomormu dari daftar nomor teleponku. Untuk menghapus lagu-lagu kesukaanmu dari daftar lagu yang kuputar tiap harinya. Untuk melupakan kalimat-kalimat kesukaanmu. Tapi nomormu terus kuingat meski tak pernah kuingat-ingat. Lagu-lagumu tak pernah bisa kuhapus dari playlistku, karena lagu-lagu itu juga lagu kesukaanku. Dan kalimat-kalimatmu itu terus menggema di telingaku. Dan itu semakin membuatku membencimu, R.
Waktu selalu memberikan kedinamisan. Dari sangat mencinta, sangat membenci, di antara keduanya dan menjadi batas antara benci dan cinta itu sendiri, dan mungkin suatu saat nanti menjadi tidak peduli sama sekali. Hilang dari diagram kartesius perasaanku. Mungkin hari ini, mungkin besok, atau bisa saja berbulan-bulan lagi lamanya. Ketika di tempat itu, tempat batas antara benci dan cintaku itu diisi oleh orang lain. Seorang, dua orang, tiga orang, atau beberapa orang mungkin nantinya, dengan alur dan plot yang sama berulang kali sampai nanti kutemukan orang yang tepat. Atau, mungkin orang yang tepat itu juga akan kembali padamu. Aku tak pernah tahu. Biarlah waktu yang nanti memberi hasilnya.
Aku tidak akan berusaha mencintaimu lagi, membencimu lebih dalam, atau melupakanmu. Biar saja semua berlalu sealami mungkin.
Aku bahkan tak ingat lagi kapan pastinya kita memutuskan untuk mengakhirinya. Suatu hari di bulan mei yang penuh kemungkinan ini pastinya…Dan tempat yang menjadi batas cinta dan benciku kini sudah berganti, R. Kamu telah tahu itu. Dan kamu mendukungnya. Dan itu membuatku semakin tak mengerti dirimu…